Penjajahan Negeri Sendiri; Menjamurnya Sinetron “Sampah” di Negeri Ini

Tak dapat dipungkiri, di era saat ini ketika membahas mengenai tayangan televisi di Indonesia maka tak luput dari bayangan adalah sinetron. Sebuah tayangan drama yang disiarakan di televisi. Sinetron sendiri merupakan sebuah tayangan televisi yang pada awalnya memang bagus dan tidak menuai masalah apapun. Sebut saja misalnya keberadaan sinetron Kiamat Sudah Dekat, Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara, yang memang diminati pemirsa dan yang lebih penting lagi adalah mampu membawa nilai-nilai positif dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun entah bagaimana awalnya, pertelevisian Indonesia mendadak seakan manjadi latah dan diserbu dengan berbagai macam sinetron yang ditayangkan setiap harinya. Tidak menjadi masalah ketika sinetron-sinetron tersebut tetap mampu menyajikan nilai-nilai positif kepada pemirsanya, namun nampaknya sebaliknyalah yang terjadi.

Entah mengapa, saat ini sebagian besar orang yang menganggap dirinya intelek atau berpikiran maju, tidak katrok, dan apalah sejenisnya, selalu alergi atau berpura-pura alergi ketika mendengar kata sinetron. Hal ini tentu dapat memberikan gambaran bagaiman citra sinetron saat ini bisa dikatakan sangat buruk dikalangan orang-orang terdidik. Mengapa dikatakan di kalangan terdidik, bukan apa-apa, tapi memang dilingkungan ini lah kemudian muncul berbagai kritikan dan kesadaran bagaimana kualitas sinetron Indonesia yang mengecewakan, sehingga secara tidak sadar seakan terbentuk sebuah kesepakatan umum bahwa sinetron indonesia merupakan sebuah karya yang penuh dengan cela dan bukanlah sebuah tayangan yang layak untuk ditonton khalayak, atau dengan bahasa yanga agak menyakitkan yaitu sampah.

Sering sekali dijumpai seorang siswa ataupun mahasiswa yang malu dan enggan mengakui bahwa dirinya sering menonton sinetron. Kalau tiba-tiba saja keceplosan atau tidak sengaja mengungkapkan suatu hal berkenaan dengan sebuah sinetron lalu ditimpali dengan kata-kata “lhoh kog kamu tahu, sering nonton ya?”. Pasti dengan secepat kilat akan berdalih “emm…enggak, orang rumah tuh yang sering nonton, jadi ya sekilas aku tahu lah” ataupun alasan-alasan lain yang bisa menyangkal bahwa mereka sering menonton sinetron juga.

Sudah menjadi fitrah manusia bahwa seseorang akan malu jika dikaitkan dengan sesuatu yang dianggap buruk. Oleh karena itu, dapat ditangkap bahwa sebenarnya citra buruk sinetron dikalangan dunia pendidikan, utamanya kaum muda sudah sangat memprihatinkan. Sampai seseorang yang menontonnya menganggap itu sebuah aib dan memalukan jika sampai orang lain mengetahuinya. Terlepas apakah itu realita atau hanya berpura-pura.

Namun sayangnya kesadaran semacam itu belum mampu dibangun secara lebih luas. Seperti diungkapkan di atas, bahwa memang baru kalangan yang katakanlah berpendidikan yang mampu melihat dan merisaukan hal tersebut. Sedangkan masyarakat Indonesia secara lebih luas masih sangat menggemari sinetron-sinetron di televisi. Mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak, apalagi bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan yang cukup rendah dan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Namun hal tersebut tidak mutlak, karena tidak jarang pula orang-orang yang berpendidikan tinggi dan dan kelas ekonomi ataspun menggemari sinetron. Namun kuantitasnya mungkin lebih kecil.

Melihat kondisi bahwasanya tayangan yang ingin ditonton masyarakat  justru sesuatu yang berada di luar keseharian mereka. Sesuatu yang berada di awang-awang, terbenam dalam kesilauan khayal yang membebaskan dari kondisi tertekan berbagai persoalan hidup sehari-hari, terutama kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik di tengah lilitan tuntutan kebutuhan hidup terus yang mencekik. Logika sederhananya, kehadiran sinetron penjual mimpilah yang bisa menjadi obat sementara untuk melupakan rasa muak atas kondisi kehidupan yang morat-marit. Sehingga lagi-lagi tidak heran jika sebagain besar penggemar setia sinetron adalah segmen masyarakat kelas menengah ke bawah yang ingin menghibur diri dari berbagai persoalan dan keterbatasan hidup yang mereka hadapi.

Sebagaimana yang dapat diamati secara nyata bahwa serbuan sinetron di hampir semua stasiun televisi swasta Indonesia saat ini tidak beranjak dari tayangan yang menjual mimpi, konflik, kekerasan, mistik, skandal, selingkuh, rebutan harta, kekuasaan, termasuk rebutan pacar. Tokoh-tokoh yang cantik dan tampan selalu muncul dengan rumah mewah, mobil bagus, baju berganti-ganti, dan segala sesuatu yang serba “glamor”, mencitrakan gaya hidup hedonis, khas kaum kelas atas (borjuis). Belum lagi, kekerasan—dengan segala bentuk dan cara—ditempuh untuk mencapai tujuan. Sikap-sikap keseharian yang ditampilkan juga jauh dari kewajaran.

Tak ketinggalan, potret anak kecil yang ditampilkan punya sifat dendam berlebihan—tidak masuk akal untuk anak seusianya— dengan melakukan siksaan atau makian kepada orang lain yang dianggap musuh bahkan akhir-akhir ini banyak anak-anak dalam sinetron yang sudah dijebak dalam adegan percintaan dan pacaran, dimana seharusnya mereka belum mengenal hal tersebut. Sinetron-sinetron remaja yang berlatar sekolah dan kampus pun sama sekali tidak bernuansa akademis karena yang ditampilkan juga hanya urusan pacaran, percintaan naif, kehidupan malam, transaksi narkoba, penunjukan kekuatan super, kehidupan dugem, pakaian-pakaian seksi, dan remeh temeh banalitas kehidupan lainnya.

Berbagai kekurangan atau keburukan sinetron yang bayak ditayangkan saat ini pun seakan sudah menjadi hal yang wajar. Sebut saja engekoran, jiplakan, episode yang dipanjang-panjangkan, sekuel yang dipaksakan berlanjut, skenario monoton, adopsi mentah dari luar, semua seakan tidak menjadi masalah yang berarti. Belum lagi sekarang sinetron banyak yang hanya menjual wajah tampan/cantik, berkedok religius, meski sebenarnya mengarah pada kesyirikan, memaksakan lagu hits menjadi tema/daya tarik sinetron sinetron, banyaknya hal-hal klise ditampilkan, jam tayang yang cenderung seragam, menampilkan unsur SARA

Lagi-lagi kesadaran sebesar apapun dari sebagian besar masyarakat indonesia seakan menemui jalan buntu untuk dapat memperbaiki kondisi tersebut. Pasalnya seakan sudah terjalin sebuah lingkaran setan yang teramat sulit diputus antara selera masyarakat, rating dan sponsor. Ketika sinetron masih menjadi primadona yang memiliki penggemar tinggi, maka stasiun TV pun masih akan terus berlomba-lomba menayangkannya. Dengan begitu pemirsa setia dapat dijaring dan meningkatkan rating. Inilah sebagai modal utama untuk menarik para pengiklan yang mendatangkan dana yang besar untuk meneruskan kehidupan. Nyatanya dilema yang begitu pelik antara perut dan intelektualitas sama sekali bukan perihal yang sederhana. Para pekerja TV dan penggarap sinetron nyatanya harus bisa mengikuti selera masyarakat agar merekapun dapat terus menyambung kehidupannya dengan layak.

Kalau sudah semacam ini, ya mau di kata apalagi. Media massa dalam hal ini televisi dan tayangan sinetronnya tidak mampu turut menjadi penggerak pembangunan karakter bangsa. Keberadaaannya lagi-lagi hanya bisa disebut sebagai industri hiburan. Sebagaimana layaknya sebuah industri maka orientasi produk yang diciptakan selalu bergantung pada pada konsumsi massa. Proses produksinya senantiasa mempertimbangkan kepentingan material dan hiburan yang pada akhirnya berbahaya karena berdampak serius pada kualitas hidup manusia.

Televisi sebagai media massa yang memiliki kedekatan, bahkan saat ini menjadi sebuah media rujukan bagi sebagian besar masyarakat harus mampu memberikan tayangan-tayagan yang edukatif dan bermanfaat. Jika sinetron dengan berbagai kriteria yang disebutkan diatas masih terus merajai program acara di berbagai stasiun televisi di tanah air, maka buakan tidak mungkin fungsi tevevisi berbalik menjadi sebuah senjata mematikan untuk menghancurkan generasi bangsa ini. Mau jadi apa bangsa ini ke depannya jika remaja dan anak-anaknya saja sudah tercekoki dengan berbagai hal negatif dan irasional dari tayangan sinetron yang setiap hari mereka lihat. Jika saat ini banyak yang sesumbar mengkhawatirkan penjajahan kebudayaan asing, maka nampaknya perlu ditelaah kembali betapa jauh lebih berbahayanya ketika anak bangsa sendirilah yang menggerogoti dan menghancurkan masa depan bangsanya sendiri. Ketika karya-karyanya tidak bisa dipertanggungjawabkan dan membawa efek buruk pada generasi penerus bangsa, apalagi namanya kalau bukan penjajah negeri sendiri.

Disinilah kemudian peran antara masyarakat sendiri, produser, dan pemerintah harus mampu disinergiskan. Kondisi yang sudah terlanjur carut marut semacam ini tentulah akan terasa sangat sulit untuk dibenahahi. Namun setidaknya upaya yang kosisten, tegas dan berkesinambungan setidaknya mampu sedikit demi sedikit mengikis kekacauan yang terjadi. Kekritisan masyarakat dalam menyikapi berbagai tayangan sinetron merupakan hal yang harus dilakukan. Dimana hal tersebut juga harus sejalan dan beriringan dengan tindakan pemerintah untuk secara tegas memberikan batasan dan kriteria ideal dalam tayangan televisi terkhusus sinetron. Sehingga dari pihak produser dan stasiun televisi juga akan berusaha memenuhi apa yang sudah diatur oleh pemerintah secara tegas.

Tinggalkan komentar